SUBYEKTIVITAS
DAN OBYEKTIVITAS SERTA KEBENARAN DALAM SEJARAH
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pengantar Ilmu Sejarah
yang dibina oleh
Bapak Prof. Dr. Haryono, M.Pd
oleh
Miskad 110732403705
Wahyu Deni Setiawan 110732403702
Nuril Amalia Azizi 130732616138
Irsa Anata Bahtiar 130732607183
Muhammad Taufik 130732607178
Syahrul
Ilmi 130732616131
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah..................................................................
1
1.2
Perumusan
Masalah.........................................................................
2
1.3
Tujuan
Penulisan.............................................................................
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bagaimanakah Subyektivitas dalamsejarah......................................
3
2.2 Bagaimanakah Obyektivitas dalam
sejarah......................................
4
2.3 Bagaimanakah kebenaran dalam
sejarah..........................................
6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................
8
3.2 Saran.................................................................................................. 9
Rasa syukur yang dalam kami lantunkan
kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahanNya makalah
ini dapat kami selesaikan. Dalam makalah ini kami membahas “Subyektivitas dan
Obyektivitas serta Kebenaran dalam Sejarah “. Makalah ini dalam rangka
penyusunan makalah kelompok.
Penyusun juga
mengucapkan terima kasih kepada dosen matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah Bapak
Prof. Dr. Haryono,M.pd. dan Ibu Indah W.P.Utami, S.pd., S.Hum.,M.Pd. yang telah
membimbing penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari
bahwa penyusunan makalah ini masih belum sampai pada kesempurnaan. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menambah
kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah “ Subyektivitas dan Obyektivitas serta Kebenaran dalam Sejarah “ ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada mahasiswa.
Malang,
10
September 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu
syajaratun, memiliki arti pohon
kayu.Yang menarik
ialah
bahwa kata itu
pada
perkembangan
selanjutnya
sudah
hilang
sama
sekali
maknanya
sebab lama kelamaan kata itu
mendapat
pengertian
berbeda (Utomo, 1995). Dalam
definisi yang lebih
luas
adalah
kejadian, perkembangan, suatu peristiwa yang membentuk suatu kontinuitas (kelanjutan) dari suatu kejadian.
Ilmu sejarah mempunyai arti yang sangat luas, para ahli juga banyak yang mengemukakan
pendapatnya tentang ilmu sejarah. Maka dari itu ilmu bantu sejarah sangat
dibutuhkan untuk membantu perkembangan sejarah dalam berbagai penelitian atau
yang lainnya. Peristiwa atau kejadian alam di masa lampau seperti proses
terjadinya bumi tidak termasuk pengertian sejarah ( Daliman, 2012:01). Sejarawan tidak dapat
bekerja sendirian, sejarawan juga memerlukan berbagai ilmu - ilmu bantu yang
relevan dengan penelitiannya, yang mencakup sejarah dari zaman dahulu yaitu
zaman purba sampai sekarang ini. Semakin luas perkembangan yang terdapat di
ilmu sejarah, ilmu bantu sejarah dapat membuat wawasan akan semakin luas
tentang pengertian ruang lingkup sejarah itu sendiri.
Dalam kajian sejarah diperlukan suatu data dan dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya agar sejarah tidak bersifat penipuan publik.Dengan demikian, kesahihan penelitian sejarah dapat
dipertanggung-jawabkan secara moral dan keilmuwan. Oleh karena itu, ketika akan
mempelajari sebuah objek sejarah maka harus dibuat metode ilmiah secara
sistematis dengan tujuan memperoleh kebenaran sejarah. Sejarah sebagai ilmu
adalah suatu susunan pengetahuan (a body of knowledge)
tentang peristiwa dan cerita yang terjadi di masyarakat manusia pada masa
lampau yang disusun secara sistematis dan metodis berdasarkan asas-asas,
prosedur dan metode serta teknik ilmiah yang diakui oleh para pakar sejarah.
1.2 Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1) Bagaimanakah Subyektivitas dalam sejarah?
2) Bagaimanakah Obyektivitas dalam sejarah?
3) Bagaimanakah kebenaran dalam sejarah?
1.3
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisannya dapat kami simpulkan
sebagai
berikut:
1) untuk mengetahui Subyektivitas dalam sejarah.
2)
untuk
mengetahui
Obyektivitas
dalam
sejarah.
3) untuk mengetahui kebenaran dalam sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Subyektivitas
dalam
Sejarah
Subjektivitas
berkaitan dengan apa-apa yang ada di dalam dan diluar pikiran manusia.Penelitian dalam kajian sejarah tidak terlepas dari selera peneliti sendiri untuk memilih tema sejarah yang diangkat dalam sebuah penelitian.Jadi hasil penelitiannya sangat dipengaruhi oleh kepentingan si peneliti sendiri untuk tujuan-tujuan tertentu.Subyektivitas juga biasa digambarkan kesaksian atau tafsiran yang
merupakan gambaran hasil perasaan atau pikiran manusia.Dalam
tradisi ilmu pengetahuan subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan
kualitatif. Misalnya : dalam pengukuran usia homo erectus yang terdapat
di Jawa. Fosil homo erectus yang ditemukan di Jawa hampir mirip dengan temuan
fosil yang ada di Cina yaitu homo pekinensis. Disini bila seorang
sejarawan berfikir secara subjektif akan
menafsirkan bahwa usia kedua jenis fosil tersebut memiliki usia yang sama
karena bentuk fosil keduanya sama.Dalam sejarah
subyektifitas banyak terdapat dalam proses interpretasi. Sejarah, dalam
mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan
subyek. Dalam subjektivisme, dimana objek tidak lagi dipandang sebagaimana
seharusnya, tetapi dipandang sebagai kreasi dan konstruksi akal budi. subjektif
diperbolehkan selama tidak mengandung subjektivistik yang diserahkan kepada
kesewenang-wenangan subjek, dan konsekuensinya tidak lagi real sebagai
objektif.
Dalam suatu
peninggalan sejarah, seorang sejarawan menggunakan analisis dan penafsirannya.
Di sinilah akan muncul subjektivitas dalam penulisan sejarah. Dia berusaha
untuk menerangkan mengapa, bagaimana
peristiwa terjadi dan mengapa saling berhubungan dengan peristiwa lain serta
berupaya menceritakan apa, bilamana,
dimana terjadi dan siapa yang ikut serta didalamnya. Dan kekuatan penelitian
sejarah akan valid apabila salah satu pokok persoalannya adalah para pelaku
sejarah ini masih hidup. Meski dari sudut berpikir positif, masih hidupnya sang tokoh justru berkah bagi upaya penulisan kembali sejarah sekiranya muncul sebuah urgensi guna mencegah tipuan tersamar terhadap generasi baru. Rekonstruksi sejarah itu sendiri adalah keniscayaan, kalaulah bukan karena indikasi pengecohan, bias saja disebabkan oleh temuan baru fakta sejarah (Slamet, 2006).Sehingga dalam penulisannya
lebih bermakna.
Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah
tidaklah akan untuk bagaimana peristiwa itu terjadi dimasa lampau. Hal ini
disebabkan karena banyaknya hal atau rangkaian peristiwa yang hilang atau
memang sengaja dihilangkan. Karena alasan itu juga, penafsiran dari seorang
sejarawan sangat diperlukan untuk menghubungkan suatu peristiwa dengan
peristiwa yang lain. Sehingga mendekati kebenaran. Dari sini dapat dilihat
bahwa suatu penulisan peristiwa sejarah itu tidak dapat lepas dari unsur
subjektivitas.
2.2 Obyektivitas dalam Sejarah
Obyektivitas dalam sejarah memang sulit untuk kita deskripsikan dalam penelitian.Inidisebabkan bahwa seorang sejarawan sendiri tidak mungkin terlepas dari selera terhadap penelitiannya sendiri.Dalam hal ini,
objektivitas adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau
persepsi manusia.Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan
subjektif sebaliknya. Keduanya memiliki kelebihan-kekurangannya. Dalam tradisi
ilmu pengetahuan objektivitas akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif. Misalnya
: dalam pengukuran usia homo erectus yang terdapat di Jawa. Fosil homo erectus
yang ditemukan di Jawa hampir mirip dengan temuan fosil yang ada di Cina yaitu
homo pekinensis.bila secara objektif, seorang sejarawan akan meneliti lebih
lanjut fosil yang ditemukan baik melalui
bentuk fosil yang mereka dapat dan membandingkannya dengan fosil yang lain,
maupun dengan melakukan tes labolatorium.. Seorang
sejarawan dalam merekonstruksi sejarah, harus mendekati objektivitas, karena
akan didapat gambaran rekonstruksi yang mendekati kebenaran.
Dalam
merekonstruksi suatu peristiwa sejarah diperlukan bukti-bukti sejarah atau
lebih tepatnya fakta sejarah. Fakta atau peninggalan sejarah itu disebut objek,
baik yang bersifat artefak,
dokumen tertulis, dan lain sebagainya. Sejarawan selalu dituntut supaya dengan
sadar dan jujur mengikatkan diri pada objek dan berfikir secara objektif. …sejarah
perlu ditulis kembali seirama dengan perubahan zaman yang senantiasa mengkerangkai
dari masa tertentu ( Sartono Kartodirjo, 1987). Seorang sejarawan dalam
penulisan atau rekonstruksi suatu peristiwa sejarah diharapkan untuk tidak
memihak. Maksudnya tidak terpaku secara subjektif 100% maupun objektif
100%. Kendati demikian, sejarawan tetap
tidak bisa objektif secara total. Hal ini diakibatkan keterbatasan sumber yang
ditemukan dan faktor lainnya.
Nilai karya
sejarawan akan selalu tergantung pada nilai objektivitasnya. Suatu karya
sejarah akan jauh nilainya lebih baik apabila sejarawan dengan sengaja tidak
objektif. Arti sederhana dari kata objektifitas dalam sejarah objektif adalah
sejarah dalam kenyataan, jadi kejadian itu terlepas dari subjek.
Unsur yang harus ada dalam sejarah
objektif adalah:
- · Kebenaran mutlak
- · Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi.
- · Tidak memihak dan tidak terikat
- · Kondisi – kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa
Seorang
sejarawan asal Amerika Serikat, Garraghan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan objektivitas sejarah
adalah:
- . Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat sosial, politis, agama, atau lainnya. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua perinsip, teori dan falsafah hidupnya.
c.
Obyektifitas tidak berarti menuntut
agar sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya.
d.
Objektivitas tidak berarti menuntut
agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau penarikan konklusi.
e.
Objektivitas sejarawan tidak berarti
bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa historis dicatat sesuai dengan
kejadiannya.
2.3 Kebenaran dalam Sejarah
Dalam penelitian sejarah asas objektivitas sangatlah diperlukan oleh seorang peneliti sejarah.Tujuan hal ini tiada lain untuk membuktikan ke public bahwa peneltian sebuah peristiwa di masa lampau itu tidak dibuat untuk kepentingan pribadi maupun suatu golongan tertentu. Sejarah ketika dinilai sebagai ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya juga mempunyai kriteria-kriteria tersendiri, diantaranya sebagai berikut:
a. Empiris.
Sejarah sangat
berkaitan dengan pengalaman manusia. Pengalaman tersebut direkam dalam dokumen
dari peninggalan-peninggalan sejarah lainnya. Sumber-sumber tersebut kemudian
diteliti oleh para sejarawan untuk bisa dijadikan fakta. Fakta-fakta itulah
yang kemudian diinterpretasikan dan dilakukan penulisan sejarah.
b. Memiliki
Objek.
Setiap ilmu pengetahuan
tentunya harus memiliki tujuan dan objek materi atau sasaran yang jelas dan
memiliki perbedaan dengan dengan ilmu yang lain. Sebagai mana umumnya ilmu-ilmu
lain, yang menjadi objek dalam kajian sejarah adalah manusia dan masyarakat
pada kurun waktu tertentu.
c. Memiliki
Teori.
Ilmu pengetahuan sosial
pada umumnya memiliki teori-teori tertentu. Sejarah mempunyai teori yang berisi
yang berisi kaidah-kaidah pokok suatu ilmu. Seperti misalnya teori yang
dikemukakan oleh Arnold Toynbee mengenai teori Challenge and Response.
d. Memiliki
Metode
Dalam
rangka penelitian, sejarah mempunyai metode tersendiri dengan melakukan pengamatan
yang sistematis. Ini untuk menghindari suatu pernyataan tidak didukung oleh
bukti-bukti yang kuat maka pernyataan tersebut itu bisa ditolak. Dengan
menggunanan metode sejarah yang tepat seorang sejarawan bisa meminimalisir
kesalahan dan dapat membuat kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Tidak dipungkiri bahwa kebenaran nisbi dalam penelitian sejarawan itu memang ada ini disebabkan kebenaran suatu peristiwa masa lampau dapat ditelusuri berdasarkan sumber sejarah ataupun pelaku serta saksi yang masih
hidup. Hal ini
tidak
saja
terjadi di sejarah
bangsa
kita, akan
tetapi
sejarah Negara Negara lain
memperlihatkan gejala gejala yang sama. Dalam
keadaan
masyarakat yang amat
tenang
pun
mereka, terutama yang telah
dilatih
berpikir, sangat
peka
terhadaps
esuatu yang ganjil
menurut
pengertian
rakyat, atau
jika
keadilan
dan
kebenaran
diselewengkan( Hanafiah,
1978). Maka reaksi ilmuan terutama sejarawan dalam mengungkap peristiwa masa lampau maka nilai kebenaranya bersifat nisbi.Tetapi selama masih ada sumber sumber atau temuan baru, masih sangat terbuka kemungkinan historiografi yang berbeda, menghadapi
sumber
baru
memang
harus
kritis( Pambudi, 2006).
Kemungkinan untuk merekonstruksi
pecahan
peristiwa yang berserakan
pun akan utuhbila terdapat objek maupun subjek sejarah yang sangat
relevan.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Subjektivitas
berkaitan dengan apa-apa yang ada di dalam dan diluar pikiran manusia.Penelitian dalam kajian sejarah tidak terlepas dari selera peneliti sendiri untuk memilih
tema sejarah yang dia angkat dalam sebuah penelitian.Jadi hasil penelitiannya sangat dipengaruhi oleh kepentingan sipeneliti sendiri untuk tujuan tujuan tertentu.Subyektivitas juga biasa digambarkan kesaksian atau tafsiran yang
merupakan gambaran hasil parasaan atau pikiran manusia.Dalam
tradisi ilmu pengetahuan subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan
kualitatif.
Obyektivitas dalam sejarah memang sulit untuk kita deskripsikan dalam penelitian.Ini disebabkan bahwa seorang sejarawan sendiri tidak mungkin terlepas dari selera terhadap penelitiannya sendiri.Dalam hal ini,
objektivitas adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau
persepsi manusia.Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan
subjektif sebaliknya. Keduanya memiliki kelebihan-kekurangannya. Dalam tradisi
ilmu pengetahuan objektivitas akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif.
Dalam penelitian sejarah asas objektivitas sangatlah diperlukan oleh seorang peneliti sejarah.Tujuan hal ini tiada lain untuk membuktikan ke public bahwa peneltian sebuah peristiwa di masa lampau itu tidak dibuat untuk kepentingan pribadi maupun suatu golongan tertentu. Agar mengandung kebenaran ilmiah.Ilmu sejarah harus memiliki criteria sebagai berikut:
a.
Bersifat Empiris
b. Memiliki Objek
c. Memiliki Teori
d. Memiliki Metode
3.2 Saran
Dalam kajian utama disiplin ilmu sejarah yang tidak boleh terlewat kan adalah sumber sejarah, pelaku serta saksi yang hidup sezaman dengan peristiwa itu.Karena penelitian sejarah berbeda dari disipilin ilmu ilmu kekinian maka objek penelitiannya pun harus ada kritik heuristic dalam setiap kerja lapangan.Sebagai mahasiswa sejarah sudah tentunya kita harus kritis terhadap dokumen maupun keterangan dari pelaku sejarah karena bukant tidak mungkin kita akan terjebak dalam penafsiran pragmatis mengenai keabsahan suatu peristiwa sejarah.
DAFTAR RUJUKAN
Daliman,
A. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta, Penerbit Ombak.
Hanafiah,
SM, M, A. 1978. Bunga Rampai Soempah Pemoeda. (editor: yayasan karya
bersejarah). Jakarta: PN Balai Pustaka.
Kartodirjo,
S. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: PT
Gramedia.
Pambudi,
A. 2006. Supersemar Palsu: Kesaksian Tiga Jenderal. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Sutrisno,
S. 2006. Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Utomo,
C, B. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangkitan Indonesia: dari Kebangkitan
hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar